Kejadian ini terjadi di tahun 2009. Tepatnya saat itu aku masih berumur 15 tahun. Masih lucu-lucunya dan baru saja masuk ke sebuah SMK. Seperti layaknya orang – orang yang menempuh pendidikan menuju jenjang yang lebih tinggi. Pasti ia akan dihadapkan dengan istilah masa orientasi siswa atau yang lebih akrab disapa MOS.
Namun, SMK yang menjadi tempat aku sekolah ingin menyebutnya dengan kata yang anti mainstream yaitu ‘Indhibath’. Uniknya, hingga saat inipun kata itu masih selalu menjadi misteri yang tak terpecahkan karena aku ga pernah tahu artinya apa. wkwkwk
Pada masa orientasi tersebut, selama 3 Minggu aku dan teman – teman menggunakan syal hijau kemanapun. Ketika berjalan juga harus baris berbaris dengan rapi. Dan tiba saatnya setelah 3 Minggu berlalu, acara puncak dari masa indhibath itu sendiri dimulai.
Bertempat di hutan Cijanggel yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, aku dan teman – teman akhirnya bertemu dengan hari yang menurut kami cukup ‘mengerikan’. Bagaimana tidak? karena aku dan teman – teman akan menghabiskan waktu di hutan selama 3 hari 2 malam.
Untuk sampai di hutan Cijanggel yang berada di kawasan dataran tinggi. Aku dan teman – teman harus menempuh perjalanan kurang lebih selama 2 jam untuk sampai di lokasi. Dan yang membuat batin ini berkecamuk adalah menghadapi kondisi dimana saat itu harus menempuh perjalanan sambil membawa tas 3 liter dengan massa 10 kg di pundak.
Sementara saat itu berat badanku hanya sekitar 38 kg saja! Eh tapinya kalo nostalgia dan diinget – inget lagi ternyata beban 10 kg di pundak itu ga seberapa dibandingkan beban kehidupan yang sekarang *eh wkwkkwwk
Menariknya, ketika aku bersama teman – teman melanjutkan perjalanan untuk sampai di kawasan hutan Cijanggel. Kostum yang kami gunakan saat itu adalah ponco. Itu lho, jas hujan yang paling sering dipake tukang ojek. Saat itu, aku sangat menyadari betapa tidak fashionablenya diri ini 🙁
Bayangin aja deh… pake tas segede gambreng di pundak lalu dibalut jas hujan ponco. Rasanya udah mirip kaya perkedel terbang.
Serba - Serbi Kenangan Ekstrim di Hutan Cijanggel Bandung
Perjalanan menuju hutan Cijanggel

 

Serba - Serbi Kenangan Ekstrim di Hutan Cijanggel Bandung
Di perjalanan menuju hutan, tiba – tiba disuruh pake ponco untuk mengantisipasi hujan
Sesampainya di hutan Cijanggel, jangan harap bisa tepar dan leyeh – leyeh. Yang ada langsung bikin tenda buat 5 orang. Jadi, malam pertama… tidur di hutannya dikelompokkan per 5 orang. Dan bikin tendanya bukan pake tenda biasa. Ya itu tadi, Pake ponco yang tadi udah dipake abring-abringan di perjalanan menuju hutan.
Serba - Serbi Kenangan Ekstrim di Hutan Cijanggel Bandung
Sesampainya di hutan, langsung deh bikin tenda per kelompok
Dan karena alasan ketakutan, malam itu aku di korbankan untuk tidur di pinggir tenda. Padahal saat itu aku sama sekali ga kebagian atapnya itu tenda. Merelakan diri ini kehujanan sambil berbalut sleeping bag.
Keesokan harinya, adalah malam terakhir berada di hutan Cijanggel. Banyak yang stress dan ngerasa ketakutan termasuk aku juga. Hahaha soalnya, di malam terakhir ini aku dan teman – teman akan mengadakan prosesi solo bivouac.
Solo Bivouac adalah dimana aku dan teman – teman akan terpisah satu sama lain. Dalam artian lain, kami akan tidur masing – masing di tenda sendirian. Dan jarak antara teman yang satu dengan teman yang lainnya cukup berjauhan. Dan pada saat itu, aku kebagian tanah dengan kemiringan yang miringnya cukup sesuatu. Kalo kata sundanya mah bisi ngagorolong 🙁
Pokoknya pada saat itu aku bener – bener dilatih untuk menjadi manusia super mandiri. Bikin tenda sendiri, ikat sana, ikat kesini. Terus naburin garam di sekitar tenda soalnya takut ada ular dan hmm.. takut juga sama kehadiran laba – laba.
Serba - Serbi Kenangan Ekstrim di Hutan Cijanggel Bandung
Bikin tenda sendiri edisi solo bivouac
Ketika malam menjelang, Semua ketakutan bercampur menjadi satu. Antara takut sama hewan yang aneh – aneh juga takut sama makhluk tak kasat mata. Dan saat itu aku sudah bersiap dengan lilin yang menyala. Tak lama kemudian, suara TOA bergema pertanda sudah saatnya untuk melaksanakan shalat isya. Dan melaksanakan shalat isya nya di tenda masing – masing.
Setelah shalat isya, tak lama kemudian suara TOA kembali menyapa pertanda sudah saatnya untuk tidur dan harus matikan lilin. Namun, apalah daya coba. Hanya bisa pasrah dengan semua ini. saat ketakutan merasuk dan malah disuruh tidur. Masih selalu terbayang dalam ingatan, ketika tidur di hutan sendirian itu aku melihat langit hutan pada malam hari. Tapi, liatnya cuma beberapa menit aja. Ga kuat sama rasa takut. Berasa kaya uji nyali gimana gitu. Cuma bedanya, kalo menyerah gak tau harus lambaikan tangan ke siapa. 🙁
Dan tanpa diketahui, ternyata selama tidur. Panitia indhibat banting stir jadi paparazzi yang mengintip aku dan teman – teman sewaktu tidur. Cuma bisa berharap, semoga aja pas lagi tidur ga sedang bikin gugusan kepulauan. hahaha
Serba - Serbi Kenangan Ekstrim di Hutan Cijanggel Bandung
Panitia sedang mengecek dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja
Keesokan harinya, kembali bangun dengan suara TOA yang menyapa dengan diiringi bom – bom gitu. Saat itu, diharuskan untuk menunaikan shalat tahajud. Akupun terbangun dalam keadaan gelap dan meraba – raba batang korek api dan lilin yang setengah basah karena begitu dinginnya hutan disertai embun.
Setelah menyala, aku mulai mencari cara untuk berwudhu. Dan pastinya waktu itu aku berwudhu menggunakan air minum yang sengaja aku sisihkan untuk keperluan berwudhu. Setelah itu, menunaikan shalat tahajud dan tak lupa mengisi lembaran kertas yang diberikan panitia sebelum memulai solo bivouac. Di dalam kertas itu, kami harus mengisi curahan hati kepada diri sendiri, orang tua dan Tuhan.
Rasanya bener – bener luar biasa! terkadang rasanya sulit bagi diri kita untuk mengakui bahwa diri kita ini salah. Terlebih lagi ego yang menyelimuti seakan – akan membuat kita tidak mengenali diri sendiri. Pada lembaran itu, aku bener – bener curhat sejujurnya, menuliskan apa yang salah. Apa yang harus aku perbuat dsb. Semacam meditasi melalui kertas.
Kertas Curahan Hati
Kertas curahan hati, entah milik siapa.
Setelah itu, tanpa terasa pagi pun akhirnya tiba. Ditandai dengan munculnya matahari yang dinanti – nanti. Rasanya kalo di hari – hari biasa, begitu malasnya untuk menatap sinar mentari. Namun, kali itu aku dan teman – teman bener – bener senang. Akhirnya terbebas juga dari rasa takut akan kegelapan malam di hutan.
Kedatangan sang mentari memang bikin bahagia, namun apalah daya bila perut melanda. Sambil berdialog dengan diri sendiri. Akupun bertanya – tanya, kiranya apa ya menu sarapan pagi ini? Sabar yaaaa dek *sambil ngelus-ngelus perut yang lagi unjuk rasa*
Tak lama kemudian, sarapan yang dinanti – nantipun tiba. Menunya saat itu adalah sayur sop. Terlebih lagi masih hangat – hangatnya. Rasanya seneng banget. Tapi ternyata kesenanganku akan sarapan harus terhenti begitu saja. Karena apa? karena hanya disuguhi waktu selama 5 menit saja untuk makan. Apalagi saat itu sistem sarapannya per kelompok. Dan makannya ga pake tanggan sendiri, makannya pake tangan orang lain. Jadi saling nyuapin satu sama lain.
Saling Menyuapi satu sama lain
Saling menyuapi satu sama lain
5 Menit kan bukan waktu yang begitu lama. Dan yang terjadi, hampir sebagian besar semua makanan dalam tiap kelompok belum pada habis. Hal yang begitu ekstrimpun kembali terjadi, semua makanan yang belum habis dicampur menjadi satu lalu dicampur menggunakan kuah madu.
Sarapan pake sop kuah madu
Sarapan pake sop kuah madu
Kebayang rasanya bener – bener bikin mual. Baru mencoba satu sendok aja rasanya ingin muntah. Tapi panitia bilang gak boleh dimuntahin nanti dihukum. Menggunakan sistem ketika yang berbuat kesalahan satu orang dan yang dihukum semua orang tentu membuat aku berfikir ulang ketika ingin memuntahkan makanan. Gak mungkin aku setega itu bikin temen – temen harus dihukum karena perbuatanku.
Makanan ter-absurd yang pernah masuk ke kerongkogan adalah sop kuah madu yang melegenda itu. Dan otomatis siapapun yang mencicipinya, raut wajahnya otomatis akan menunjukkan rona yang tidak cemerlang karena menahan muntah. Hahaha
Usai melewati prosesi sarapan yang menakjubkan, kamipun kembali melakukan aktivitas seru dan berolahraga di sekitar hutan. Yang kemudian, acara tersebut sekaligus menutup perjumpaanku dengan hutan Cijanggel. Say good bye buat hutan Cijanggel dan selamat datang buat kasur di asrama. Batinku sendiri sambil melangkah pergi.