Apakah Kita Berani Memastikan Apa yang Kita Inginkan? – Saya punya satu kata bijak yang hingga saat ini selalu bisa memotivasi Saya ketika Saya dihantui perasaan lelah dan ingin menyerah terhadap sesuatu yang Saya perjuangkan. Sampe – sampe kutipan ini Saya pinned post di akun twitter pribadi Saya.
“Di tengah ketidakpastian hidup, kita harus berani memastikan apa yang kita inginkan” – Widya Herma
Entah kenapa tiba-tiba saja terlintas kata – kata itu di pikiran. Tapi yang pasti, apa yang terlintas semata – mata adalah bentuk kasih Sayang Allah terhadap Saya. Allah pasti ga mau liat Saya menyerah makanya membuat kata – kata itu terlintas di pikiran Saya.
Terus, energi apa yang Saya dapatkan dari kata bijak itu? Saya jadi menyadari satu hal yang luar biasa di hidup Saya. Rasanya jadi ingin throwback ke masa SD tepatnya saat Saya masih duduk di bangku kelas 6 SD. Masa yang dimana Saya masih menganggap bahwa naik seluncuran di playground mcdonald bukan sesuatu yang memalukan untuk dilakukan. Yap, karena Saya menganggap masih sangat muda dan terbilang kekanak-kanakan pada masa itu.
Suatu ketika guru Saya bertanya kepada murid-muridnya termasuk Saya. Pertanyaannya sederhana:
“Siapa yang punya cita-cita?”
Sontak semua murid mengacungkan tangan dengan rasa percaya diri.
“Apa cita-cita kalian?”
Kompak semua murid pada krik-krik ga ada yang jawab.
“Oke, siapa yang mau jadi guru?”
Semua terdiam tak satupun yang mengacungkan tangan
“Baik, siapa yang mau jadi dokter?”
Kemudian seorang murid mengacungkan tangan. Lalu semua muridpun mengalihkan pandangannya pada seorang murid yang mengacungkan tangannya tersebut.
Dulu, waktu jaman SD. Rasanya cita-cita itu Cuma ada dua. Kalau ga jadi guru, ya jadi dokter. Simple. Sebenarnya, Saya saat itu punya cita-cita jadi guru. Tapi, terlalu malu untuk mengacungkan tangan saat ditanya oleh guru.
Dari situ, Saya jadi ingat betapa mudanya Saya saat itu. Gadis kecil yang bahkan untuk memastikan apa yang diinginkannya saja ga berani. Malu lah, takut lah, apalah dsb.
Memang ga mudah untuk bisa move on dari perasaan semacam itu. Dan hari – hari itu berlalu begitu saja dan Saya hari ini adalah seorang murid yang masih mengingat moment saat ditanya tentang cita-cita oleh seorang guru.
Jujur, Saya ga mau seperti apa yang Saya lakukan waktu dulu. Saat ditanya apa yang diinginkan. Saya enggan menjawab. Hari ini mungkin Saya tidak berada di dalam kelas dan juga tidak ada seorang guru yang akan bertanya apa cita-cita Saya. Atau bahkan ga ada kertas binder yang isinya form biodata dimana terdapat kolom cita-cita yang harus Saya isi. You know lah, generasi 90’an emang demen banget tukeran biodata waktu SD wkwkwk
Ga akan ada yang tanya apa cita-cita Saya sekarang. Who’s care? Tapi diri Saya akan lebih sering bertanya apa cita – cita Saya. Bertanya entah pas lagi Saya kecapean pulang ngantor, lagi mandi, lagi memandang aquarium, lagi dengerin musik, lagi cuci baju, lagi ngaca dsb. Di waktu – waktu yang memungkinkan untuk monolog, sudah dapat dipastikan pertanyaan tentang apa yang Saya inginkan itu akan menelusup ke pikiran.
Saking seringnya, sampe-sampe akhirnya Saya membuat keputusan. Dalam hati, Saya bicara sendiri. Tapi pastinya illahi dengerin banget kata – kata Saya ini.
“Ya Allah, hidup mah emang ga pasti kan ya? Tapi da kasih Sayang Allah, rezeki, kebaikan, janji Allah mah pasti. Udah sampe di titik ini juga bersyukur banget. Widya mah da ga bisa ngapa-ngapain kalau bukan karena Allah yang bantu. Maaf ngerepotin Ya Allah. Padahal Widya banyak dosa sama Allah. Widya mohon dimampukan, dikuatkan dan dituntun ke takdir yang terbaik. Aamiin”
Saya pun memberanikan diri untuk mengajukan resign ke tempat Saya bekerja. Dari segi cita-cita, punya pekerjaan di tempat yang nyaman dengan salary yang cukup itu Alhamdulillah salah satu cita-cita Saya yang sudah tercapai. Tapi, Saya sadar kalau Saya harus bertumbuh ke arah yang lebih baik. Naluri Saya berkata bahwa bisnis adalah passion yang belum Saya taklukan.
Baca: Muda, Bahagia, Banyak Karya. Kenapa Nggak?
Kalau menjadikan hobi sebagai pekerjaan yang dibayar. Alhamdulillah, Allah sudah takdirkan Saya untuk itu. Tapi, ada yang bikin Saya gregetan yaitu dagang. Saya memang anaknya sih suka dagang. Jadinya cita-cita yang belum Saya wujudkan atas restu Allah adalah berdagang.
Semoga ini keputusan yang tepat dalam rangka keberanian untuk memastikan apa yang Saya inginkan. Saya anggap ini sebagai hadiah ulang tahun Saya yang ke 23. Saya resmi resign di bulan kelahiran Saya sendiri. Dan bersiap untuk tantangan selanjutnya.
“A comfort zone is a beautiful place, but nothing ever grows there” – Unknown