Pernah terpikirkan gak sih, ternyata hidup kita itu seperti software yang harus terus di upgrade setiap waktu? Hal-hal baru yang saya rasa setelah perubahan status dari seorang wanita dewasa yang harus berjuang hidup di kosan berukuran 3×2 meter, dengan 9 to 5 routine. Kini saya pun sedang berjuang menjalani peran sebagai istri sekaligus ibu, peran yang begitu sangat spesial untuk saya.

Hal yang tak biasa saya lakukan di masa-masa single pun perlahan mulai rutin saya lakukan, salah satunya rutin membawa anak ke posyandu dengan jadwal di pekan kedua setiap bulannya. Awalnya sih kegiatan ini jadi hal yang menyebalkan banget, terutama karena sistem yang diberlakukan mulai dari pendaftaran sampai pendataan anak, semua dilakukan serba manual. Paling hanya penyebaran informasinya saja yang sudah digital, itu pun hanya melalui pesan di grup Whatsapp posyandu. hehehe

Alhasil antrean pun sering banget sampai menumpuk, apalagi ditambah dengan jadwal yang sering bentrok antara grup ibu hamil dengan ibu menyusui, serta agenda-agenda tambahan lain seperti sosialisasi program tertentu yang biasanya disampaikan oleh bidan desa.

Proses pendataan di Posyandu yang dilakukan secara manual

Tak sampai di situ saja, banyaknya bumbu-bumbu drama yang sering terjadi hampir di setiap jadwal posyandu berlangsung pun cukup membuat saya agak ogah untuk ke posyandu. Mulai dari drama sederhana seperti anak-anak yang menangis karena ingin jajan atau merasa bosan dengan antrean yang lama, ataupun para ibu doyan gosip yang merasa terfasilitasi untuk berkoalisi dengan sesamanya.

Drama-drama yang berunsur psikologis pun kadang bisa kita lihat di posyandu. Contohnya seperti melihat petugas posyandu yang menuliskan pendataan anak, terlihat kikuk dan kurang percaya diri karena tulisan tangannya kurang terbaca. Kadang memang ada ibu yang mencoba melontarkan senda-gurau pada petugas, namun agak sedikit sarkas seperti “wah ibu tulisannya bagus kayak dokter”.

Seperti yang kita tahu, anekdot tulisan dokter itu ya mengartikan tulisannya tidak mudah dibaca kan ya? Otomatis dong petugasnya pun akan merasa tertekan, apalagi jika kebetulan petugas yang dibecandai tersebut cukup serius pembawaannya. Bisa-bisa malah jadi pemicu keributan antar tetangga deh.

Cerita tadi berasal dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu yang membawa anak ke posyandu, nah asalkan kamu tahu saya pun cukup banyak mendapatkan cerita-cerita yang lebih dramatis lagi, namun dari sudut pandang petugas-petugas posyandu itu sendiri. Jadi kebetulan mama mertua saya sudah sangat lama aktif berkegiatan di posyandu tempatnya tinggal, kalau tidak salah beliau sudah memulai “karir” nya tersebut sejak dari suami saya masih bayi.

Mendengar cerita-ceritanya pun kadang membuat saya menggelengkan kepala, kok bisa ya seseorang yang tidak digaji secara personal oleh negara melakukan tugas-tugas yang bahkan kadang menyita sebagian dari hidup pribadinya? Lebih mending pula jika diberikan fasilitas yang mempermudah pekerjaannya, nah ini justru malah semakin menambah beban dan tidak membuat peran posyandu jadi efektif.

Salah satunya ya seperti proses pendataan tadi, entah mengapa mama mertua saya diharuskan menuliskan semua pendataan tersebut secara manual atau ditulis-tangan. Padahal setahunya petugas yang menerima data tersebut di kecamatan dan keluharan lalu akan mengonversinya menjadi data digital. Bukannya lebih baik langsung tersistem secara digital? Ya, semoga hal ini terjadi hanya di posyandu tempat saya dan mertua bertugas, sangat disayangkan tentunya bila kinerja posyandu terus dibiarkan seperti ini berkelanjutan.

Bila terus dibiarkan bisa-bisa tak hanya warga yang ogah datang ke posyandu, re-generasi petugas posyandu pun bisa stuck dan pada akhirnya posyandu pun akan kehilangan fungsinya di masyarakat. Belum lagi bila melihat hasil sensus penduduk yang menyatakan Indonesia dihuni oleh prosentase generasi Z yang lebih banyak, akan semakin mempercepat usia dari posyandu di Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu karakter gen Z ini tidak suka proses dan suka yang instan, peliknya regulasi yang diterapkan posyandu tidak akan nyetel dengan apa yang mereka mau. Memang butuh sinergi dari berbagai pihak ya, agar peran posyandu yang cukup sentral dalam penyelenggaraan program hidup masyarakat sehat dapat terus berjalan.

Agar tak terjadi gap yang terlalu jauh pun sepertinya generasi yang saat ini mengelola posyandu, harus mulai dibekali kemampuan dasar menggunakan komputer seperti mengoperasikan aplikasi sederhana yang bisa digunakan untuk pendataan seperti Ms. Word ataupun Ms. Excel. Karena hal yang cukup di luar nalar pernah saya alami lho.

Kebetulan saat itu saya dan suami mengajak mertua untuk berlibur, sayangnya jadwal liburan tersebut bersamaan dengan hari di mana mama mertua saya mengejar deadline menyelesaikan laporan posyandu nya. Berhubung saat itu tidak ada petugas lain yang bisa dimintai tolong, dengan terpaksa tumpukan-tumpukan kertas laporan pun harus ikut liburan bersama kami. Mau tahu seperti apa tumpukannya? kurang lebih seperti ini ya. hehehe

Pada momen tersebut jujur saya sangat terenyuh dengan pengorbanan mama mertua, beliau begitu kuatnya untuk memikul tanggung jawab bahkan sampai mau membagi waktu liburan untuk tetap bekerja. Dan dari kejadian inilah saya pun sering bertanya-tanya kenapa sih tak dibuat praktis dengan digital saja? Ya mungkin kerja mepet deadline nya masih ada, tapi setidaknya beliau bisa bawa pekerjaan tanpa harus menyusahkan.

Manfaat ASUS Vivobook 13 Slate OLED untuk Aktifitas Produktif

Cukup membawa laptop yang compact seperti ASUS Vivobook 13 Slate OLED, tentunya akan sangat membantunya menyelesaikan tugas-tugas mama mertua dari posyandu. Bak gayung bersambut, mendapat undangan dari ASUS untuk me-review produk ASUS Vivobook 13 Slate OLED, seakan-akan melihat solusi yang superior untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh mama mertua saya.

Laptopnya memang setipis itu

Apalagi Vivobook 13 Slate OLED ini juga telah mendukung penggunaan stylus dengan teknologi MPP 2.0. sehingga pencatatan data posyandu tidak perlu lagi menggunakan pena seperti biasanya. Tapi kalau lagi mager pake stylus pen juga, bisa pakai tangan aja kaya biasa hehe karena layarnya kan sudah touch screen.

Keyboard dengan kedalaman hingga 1.4mm yang memudahkan dan ga bikin pegel saat ngetik

Laptop 2in1 yang satu ini memang dibekali dengan banyak keunggulan, salah satunya ialah keyboard yang lebih responsif dari jenis lainnya. Hal yang akan sangat membantu untuk orang-orang yang baru belajar mengetik, tentu penggunanya tidak akan merasa lelah selama menggunakan laptop tersebut untuk entertainment maupun pekerjaan.

Kemudian disusul dengan sistem audio berbasis quad-speaker yang didukung teknologi Dolby Atmos, sehingga dapat menghasilkan suara lantang sekaligus jernih. Sehingga proses penyuluhan yang dilakukan di Posyandu akan berjalan lebih interaktif dan komunikatif.

Ingin rasanya saya pun membelikan beliau laptop untuk mewujudkan setitik harapan tersebut, karena tentunya harus menunggu waktu yang sangat lama mungkin sampai pemerintah bisa menyediakan laptop untuk memudahkan proses di posyandu.

Namun selama itu pula hidup harus terus berlangsung, SDM yang ada pun harus siap untuk berubah menjadi lebih baik. Maka dari itu, dukungan dari ASUS Vivobook 13 Slate OLED benar-benar sangat membantu memberikan kemudahan dalam keseharian.

Terima kasih inovasinya ASUS Vivobook 13 Slate OLED semoga kelak saya benar-benar bisa meminangmu!