Ibuku memang wanita dengan nasib yang berbeda dari kebanyakan wanita yang dilahirkan dari keluarga kaya. Apalagi lahir di tahun 60-an, yang kala itu tentunya bukan hal yang mudah, saat itu wanita masih dianggap sebagai beban. Sehingga ketika usianya sudah menapaki belasan, tak jarang untuk segera dinikahkan.

Meski ibuku lahir di keluarga kaya, bukan berarti dia punya kesempatan untuk mengenyam Pendidikan dengan lebih baik. Tepat di usianya yang menginjak angka 17 tahun, ia justru dijodohkan dengan seorang pria yang selisih usianya 14 tahun darinya, itu artinya pria itu berusia 31 tahun saat menikah dengan ibuku.

Karena menikah di usia dini, ibuku tidak lulus SMA, dan lahirlah anak-anaknya satu persatu dari pernikahannya bersama ayahku, mulai dari lahirnya kakak pertamaku di tahun 1986, kakak kedua di tahun 1989 dan aku yang lahir di tahun 1994 sebagai anak ketiganya.

Sayangnya, seumur hidup aku tidak pernah bisa mengingat moment keharmonisan orang tuaku, karena di usiaku yang masih balita, ibu dan ayahku memutuskan untuk bercerai. Kalau menurut kakakku, perceraian mereka terjadi di usia 12 tahun pernikahan mereka.

Harapan dari anak yang terabaikan

Pasca perceraian kedua orangtuaku, kehidupan mengalami banyak perubahan, karena ibuku juga bukan orang yang stabil secara ekonomi, maka pasca perceraian aku tinggal secara nomaden, pernah tinggal di nenek yang lokasinya di Ciamis, pernah juga tinggal di rumah nenek yang lokasinya di Cicalengka dsb

Sampai-sampai terukir jelas persetujuan pindah sekolah selama SD mencapai 5x di raportku. Karena setiap aku pindah tempat tinggal, maka secara otomatis pindah sekolah juga. Beruntungnya aku sempat juga tinggal dengan ayahku selama 2 tahun, tepatnya di kelas 3 sampai kelas 5 SD semester awal, sebelum akhirnya ayahku pun berpulang ke rahmatullah.

Dalam hidupnya, ibuku sempat menikah beberapa kali. Namun usia pernikahannya belum ada yang se-langgeng usia pernikahannya dengan ayahku. Dari pernikahan tersebut akupun akhirnya memiliki 2 adik tiri, se-ibu tapi tidak se-ayah.

Di dalam hidupku, ibuku tidak banyak berperan dalam hidupku, itulah yang pada akhirnya membuatku menyadari bahwa banyak waktu berlalu tanpa ibuku. Justru orang yang banyak berperan menjadi bagian dari perjalanan hidupku adalah tanteku yang kebetulan memang merawatku pasca ayahku berpulang.

Kisah anak broken home

Jadi, ketika ayahku meninggal, aku kembali dibawa ibuku ke rumah nenek, karena ibuku tidak mau aku dirawat oleh ibu tiri yang merupakan istri ayahku saat itu. Tepatnya setelah berada di rumah nenek, kemudian ibuku pergi meninggalkanku, karena menikah dengan orang Palembang. Alhasil, akupun tinggal bersama tanteku dan dibiayai pendidikannya sampai menamatkan bangku SMK, setelah sempat dibawa ke rumah nenek sebelumnya.

Selama 7 tahun lamanya, aku tinggal bersama tanteku yang memiliki dua orang anak laki-laki. Meski sudah lama hidup bersama, tapi pada akhirnya akupun kembali pada ibuku karena tanteku menikah lagi. Saat itu aku bisa kembali pada ibuku karena memang ibuku sudah bercerai cukup lama dengan mantan suaminya yang orang Palembang tersebut.

Selama hidup bersama ibuku, aku memang banyak merasakan kesulitan dalam hidup, khususnya dari segi finansial, karena ibuku sama sekali tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap, sedangkan kondisinya mengontrak rumah. Aku yang saat itu berumur 18 tahun, dan tadinya hendak kuliah dengan dibiayai oleh tantekupun namun tak jadi, akhirnya harus ikut banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari berjualan apapun seperti seblak, gorengan, kerudung, mukena, menjual baju-baju bekas yang kumiliki dan masih banyak lainnya.

Baca: Cerita Persahabatan Lintas Suku dan Budaya, Sunda dan Minang

Di moment seperti itu, walau memang kami tidak sedekat itu… aku mencoba memahami ibuku yang sedari kecil tinggal di keluarga kaya tapi seperti tidak berdampak apa-apa pada hidupnya. Di usianya yang semakin menua, masih harus berusaha sekeras itu, bahkan seperti ironi aku memandang ibuku saat itu, ibuku di pernikahan-pernikahan sebelumnya seperti hanya sekedar untuk meningkatkan taraf ekonomi saja.

Walau aku sebagai anaknya, benar-benar tidak merasa bahwa ibuku berjuang untuk anak-anaknya, kami yaitu aku dan kakak-kakakku sudah terbiasa hidup dengan pengabaian. Masing-masing dari kami, tidak dekat dengan ibu, karena kakak-kakakku dan aku pun memang tidak tinggal dengan ibuku, bahkan kakak-kakakku ada yang tinggal bersama uwa, alias kakanya ayah, ada yang merantau ke Jakarta dan aku tinggal bersama tante. Hanya saja saat itu, aku berkesempatan untuk kembali tinggal dengan ibuku karena tanteku menikah lagi.

Kembali lagi ke moment saat aku dan ibuku tinggal bersama, setelah belasan tahun hidup masing-masing. Aku rasa memang ada rasa canggung dan sungkan yang nyata diantara kami, sekalipun kami berjuang bersama-sama, pada akhirnya memang aku sadar bahwa aku juga merepotkan ibuku sendiri.

Sebagai seorang anak, ada rasa empati ingin memperjuangkan kehidupan seorang ibu agar bisa hidup layak, akupun memutuskan untuk bekerja sebagai SEO Content Writer di tempat yang jauh dan tinggal ngekos sendirian. Setelah tepatnya beberapa bulan tinggal bersama ibuku.

anak broken home indonesia

Sejak aku bekerja, tak lupa setiap bulannya aku mengirimi uang sebisaku untuk ibuku, jujur rasanya begitu sulit untuk ikhlas dan tulus pada seseorang yang banyak menjadi sumber luka dalam hidup. Yang paling terasa adalah luka pengabaian itu sendiri, yang sedari kecil aku harus banyak rasakan pahitnya hidup seperti tidak memiliki orang tua.

Disisi lain, ibuku juga pasti berada di situasi yang sulit, tidak memiliki bargaining power untuk melanjutkan hidup dengan baik selain menikah dengan pria yang mau bertanggungjawab menafkahi kehidupannya.

Setiap kali pertemuan keluarga, lebih tepatnya di moment lebaran, ibuku tidak punya banyak hal untuk diceritakan ke keluarga besarnya, berbeda dengan saudara-saudaranya yang banyak melakukan perjalanan wisata bahkan sudah pernah umroh dan haji. Rasanya aku sebagai anak ingin sekali membuat ibuku merasa nyaman di keluarganya, membuat ia bisa memiliki sesuatu yang ‘setara’ juga untuk diceritakan.

Jika memang Allah menghendaki undangan untuk ibuku melalui rezeki yang diturunkan padaku, aku berharap semoga ibuku bisa mengambil paket umroh di Alhijaz Indowisata, karena :

  • Alhijaz Indowisata sudah terdaftar resmi di Kemenag RI
  • Memiliki akreditasi A dari Komite Akreditasi Nasional Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu
  • Memiliki Lisensi provider visa
  • Keberangkatannya 100% tepat waktu
  • Dipilihkan hotel yang jaraknya dekat masjid

Semoga Allah mudahkan untuk wujudkan harapan tersebut dan mudahkan juga bagi aku dan ibuku memulai lembaran baru dengan lebih baik, bagaimanapun juga jauh di lubuk hati ini, aku sebagai anak ingin menunjukan bakti dan melakukan yang terbaik untuk ibuku.