Difabel, sering kali dianggap menjadi sebuah kata yang terdengar mengibakan, seakan-akan orang yang mengalami disabilitas dapat langsung dideskreditkan sebagai yang harus dikasihani. Padahal pada kenyataannya, orang dengan disabilitas hanya berbeda secara bentuk fisik saja, sedangkan apa yang ada di dalam dirinya utuh dan sama seperti manusia lainnya.
Menurutku pribadi, perlakuan seperti ini termasuk pada perlakukan diskriminatif untuk penyandang difabel. Mereka tidak butuh dikasihani, mereka tidak ingin ditangisi. Penerimaan yang tulus dan setara mereka butuhkan, agar merasa keberadaan mereka tidak kurang ataupun lebih di lingkungannya.
Hal ini pun pernah aku alami sendiri di dunia kerja, di mana teman yang mengalami tunarungu seringkali merasa tak enak hati, terutama ketika atasan di tempat kami bekerja memberikan perlakuan “extra” hanya untuknya. Perlakuan seperti memberikan motivasi ataupun support-support berlebih yang niatnya tentu baik, tetapi membuat teman saya yang disabilitas tersebut merasa tidak enak karena mungkin merasa ada karyawan yang iri melihat perlakukan tersebut.
Apalagi teman saya merupakan penyandang difabel yang terjadi dikarenakan mengalami kecelakaan, sudah tentu perubahan psikis dan mentalnya akan lebih berat jika dibandingkan dengan penyandang difabel dari lahir. Pada akhirnya, perlakukan-perlakukan tersebut bukan membuat mereka terbuka, namun malah membuat ruang nyaman bagi penyandang difabel pun kian hari kian menyempit.

Komunitas Teman Difabel hadir untuk menjembatani keduanya. Komunitas ini menghadirkan kebersamaan dan kehangatan dalam kebersamaan. Adanya komunitas ini sangat baik, karena dapat menumbuhkan harmonisasi dalam interaksi sosial penyandang difabel. Selama ini, bagi para penyandang difabel perlakukan diskriminatif telah dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga.
Sudah pasti banyak orang tua yang membatasi ruang gerak para penyandang difabel yang justru menghambat perkembangannya. Hal ini pun diiyakan oleh Achmad Fathullah, pendiri Komunitas Teman Difabel. Pada sebuah media berita online ia berujar bahwa terkadang keluarga terlalu over care pada penyandang difabel.
Bentuk perhatian lebih dari keluarga, antara lain berupa pembatasan aktifitas difabel. Misalnya, mereka dilarang untuk sekolah, dilarang bekerja atau dilarang beraktivitas karena khawatir pulang terlalu malam. Selain rasa khawatir terlalu berlebihan, keluarga dipandang belum sepenuhnya menerima memiliki anak difabel. Ya, perasaan malu memiliki anggota dengan kondisi special, tentu menjadi hal yang lumrah terjadi pada siapa pun, tanpa terkecuali.
Padahal, sikap keluarga yang membentengi ruang gerak para penyandang disabilitas justru membuat para penyandang menjadi minder. Sehingga, mereka menjadi pribadi yang mudah tersinggung dan menurunkan kemampuannya untuk melakukan interaksi sosial. Contohnya seperti yang teman saya alami tadi, perlakuan extra yang mungkin bertujuan untuk memberikan motivasi yang positif, namun terasa menjadi negatif karena kondisi penerimaannya yang sudah tidak seperti sedia kala.

Para penyandang difabel seperti halnya manusia pada umumnya, mereka ingin bergaul dengan semua lapisan masyarakat, bersekolah dan bekerja. Selama ini hanya di komunitas-komunitas difabel, mereka bisa meluapkan emosi, tertawa lepas dan ngobrol santai layaknya masyarakat pada umumnya. Di tingkat masyarakat, tidak semua masyarakat antipati dengan para penyandang difabel.
Banyak di antara mereka yang ingin bergaul dan mengatahui kehidupan para difabel. Cara komunikasi menggunakan tangan pun menjadi daya tarik tersendiri. Namun, mereka tidak mengetahui untuk memulai atau ada rasa khawatir untuk bergaul dengan para penyandang difabel. Achmad bersama Komunitas Teman Difabel seringkali mengadakan pertemuan seminggu sekali, untuk menjembatani interaksi sosial antara difabel dan nondifabel.
Tujuannya tidak lain, agar mereka memiliki wadah untuk bersosialisasi bersama, tanpa ada jarak diantara keduanya. Semula, ia hanya mengagendakan acara kumpul bersama. Kemudian, kegiatan pertamuan dilakukan dengan belajar bahasa isyarat supaya komunikasi antara difabel dan nondifabel makin erat terjalin dan saling menggali informasi. Untuk itu, ia bekerja sama dengan Gerakan Kesejahketraan Tuna Rungu Indonesia sebagai pengajar bahasa isyarat. Terbukti berkat kontribusinya di bidang edukasi, dengan membentuk Komunitas Teman Difabel, Achmad Fathullah berhasil mendapatkan anugerah pewarta Astra di tahun 2018.
Sebagai orang yang memiliki teman penyandang difabel, aku merasa apa yang dilakukan oleh Achmad Fathullah harus didukung oleh pemerintah & difasilitasi agar dapat meminimalisir Tindakan diskriminatif pada orang yang menyandang difabel. Karena, saat kita bisa memandang semua orang setara apapun kondisi fisik dan mental yang dialaminya, di situlah letak kemanusiaan yang sejati dapat kita rasakan kehadirannya.