Setiap kali Anda menonton video YouTube berdurasi lima menit, Anda ikut menyumbang sekitar 1 gram karbon dioksida ke atmosfer. Sebuah pencarian sederhana di Google? Sekitar 0,2 gram CO2. Bahkan email yang Anda kirim—terutama yang memiliki lampiran besar—bisa meninggalkan jejak karbon yang tidak kecil. Di balik layar yang terlihat bersih dan efisien, dunia digital ternyata menyimpan sisi gelapnya sendiri terhadap lingkungan.
Menurut laporan International Energy Agency (IEA), pusat data global dan jaringan komunikasi menyumbang sekitar 2% dari total emisi karbon dunia, setara dengan industri penerbangan. Ini berarti, meskipun kita merasa telah berpindah dari dunia fisik yang penuh kertas dan kendaraan ke dunia digital yang “hijau,” kita belum sepenuhnya lepas dari kontribusi terhadap krisis iklim.
Sebagai seorang digital advertiser di sebuah perusahaan hijab, saya dulu berpikir pekerjaan saya jauh dari hal-hal seperti limbah atau polusi. Tugas saya sehari-hari adalah merancang iklan, memilih kata-kata yang menarik, mengatur penayangan iklan di platform seperti Meta Ads atau Google Ads, dan menganalisis data audiens. Namun, makin lama saya berkecimpung di dunia ini, makin saya sadar bahwa invisible doesn’t mean harmless. Dunia digital ternyata tetap punya dampak yang nyata terhadap bumi.
Menjadi Sadar di Tengah Data dan Pixel
Kesadaran itu datang perlahan. Awalnya dari sebuah artikel yang membahas energi yang dibutuhkan untuk menjalankan internet. Lalu saya mulai menggali lebih dalam: setiap tayangan iklan video yang saya atur bisa disimpan di server raksasa yang terus menyala—menyedot energi dari pembangkit listrik, sebagian besar masih berbasis fosil.
Bahkan saat saya membuat kampanye email marketing atau menjalankan A/B testing landing page, saya berkontribusi pada konsumsi energi digital yang besar. Jumlah data yang diproses, jumlah klik yang ditargetkan, hingga jumlah impressions—semua itu berarti lebih banyak aktivitas server, lebih banyak listrik, dan pada akhirnya, lebih banyak karbon di udara.
Koneksi Antara Aktivitas Digital dan Jejak Karbon
Sebagai advertiser, saya hidup dari data. Tapi kini saya mulai melihat data dengan sudut pandang baru: berapa besar emisi karbon yang dihasilkan dari satu kampanye digital? Dan lebih jauh, bagaimana saya bisa ikut menekan angka itu tanpa mengurangi performa kerja?
Beberapa langkah kecil mulai saya coba, seperti:
- Mengoptimalkan ukuran aset digital, seperti gambar atau video, agar tidak terlalu berat dan tidak membebani server.
- Mengurangi frekuensi kampanye blast, menggantinya dengan segmentasi audiens yang lebih tepat sasaran.
- Membuat pesan kampanye yang sekaligus mengedukasi, mengajak audiens tidak hanya membeli, tapi juga berpikir tentang keberlanjutan.
- Mengurangi penggunaan plugin atau script yang memperlambat loading dan menambah beban data.
Langkah-langkah ini sederhana, tapi menjadi bentuk tanggung jawab pribadi saya sebagai bagian dari industri digital yang kini tak bisa lepas dari kehidupan modern.

Edukasi Lewat Narasi: Dampak Nyata dari Konten Digital
Salah satu kekuatan terbesar dalam profesi saya adalah narasi. Saya bisa mengarahkan opini, memengaruhi kebiasaan, bahkan mendorong perubahan pola pikir. Di sinilah saya merasa ada peluang besar untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Alih-alih hanya fokus pada angka konversi, saya mulai menyisipkan pesan-pesan kecil: tips hemat energi, ajakan untuk memilah sampah digital (seperti menghapus email dan file yang tak digunakan), hingga rekomendasi gaya hidup digital yang lebih bijak. Saya percaya, awareness bisa tumbuh dari hal-hal kecil, dan tugas saya adalah menyalurkannya lewat media yang saya kuasai.
Menata Etika Digital: Tidak Sekadar Efektif, Tapi Bertanggung Jawab
Banyak profesional digital seperti saya yang mengejar performa dan efisiensi. Tapi kita juga harus menata ulang etika kerja digital—bahwa efektivitas iklan tidak seharusnya merusak lingkungan. Dunia maya dan dunia nyata kini saling berkaitan. Jejak yang kita tinggalkan di dunia digital bisa berarti jejak nyata di atmosfer, tanah, dan laut.
Sebagai contoh, membuat landing page dengan kecepatan tinggi dan ukuran ringan bukan hanya meningkatkan conversion rate, tapi juga menghemat konsumsi energi pengguna. Menghindari iklan autoplay bukan hanya ramah user experience, tapi juga ramah lingkungan. Prinsip-prinsip seperti ini perlu makin disuarakan.
Kolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Indonesia (DLHI)
Saat saya semakin mendalami isu lingkungan, saya melihat peluang besar bagi para pegiat digital marketing untuk bisa berkolaborasi dengan pihak-pihak yang lebih berpengalaman dan berwenang dalam hal pelestarian lingkungan, seperti DLHI — Dinas Lingkungan Hidup Indonesia.
DLHI merupakan institusi pemerintah yang bertugas mengawasi, mengelola, dan menyusun kebijakan lingkungan di tingkat nasional dan daerah. Mereka bekerja dalam berbagai sektor—mulai dari pengendalian pencemaran udara dan air, pengelolaan sampah, pelestarian ekosistem, hingga peningkatan kesadaran masyarakat lewat kampanye dan program edukatif.
Salah satu contoh program yang relevan dengan DLHI dan profesi digital adalah Gerakan Indonesia Bebas Sampah Digital. Meskipun belum sebesar gerakan pengurangan sampah fisik, inisiatif ini mulai mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengelola ruang digital kita: menghapus file tidak terpakai, membersihkan email, dan mengurangi konsumsi data berlebihan.
DLHI juga mendorong perusahaan dan pelaku industri kreatif untuk mulai menerapkan prinsip Corporate Environmental Responsibility—yang artinya, setiap lini pekerjaan, termasuk pekerjaan digital, harus mempertimbangkan dampak lingkungannya.
Menutup Layar dengan Tanggung Jawab
Menjaga bumi bukan hanya urusan petani, aktivis, atau peneliti lingkungan. Ini adalah urusan semua orang—termasuk kita yang bekerja dari balik layar laptop. Menjadi digital advertiser bukan berarti kita lepas dari tanggung jawab terhadap alam. Justru dengan pengaruh yang kita punya di dunia maya, kita bisa menciptakan perubahan nyata di dunia fisik.
Lewat kesadaran, narasi, dan kolaborasi yang tepat, saya percaya profesi ini bisa menjadi bagian dari solusi. Karena bumi hanya satu, dan sekecil apapun peran kita, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan membawa arti.